Sabtu, 02 November 2013

kisah Intrapreneur Christina Setyowati yang Menjadi Ujung Tombak Bisnis Japan Tobacco

Jalan hidup yang harus dilalui Corporate Affairs & Communications Manager PT JTI Indonesia, Christina Setyowati, cukup berwarna. Namun dia menyukai perjalanan sebuah proses sebelum akhirnya memetik buah manis dari perjuangannya. Lewat keahlian komunikasi korporate-nya, Christina menjadikan PT JTI menjadi salah satu perusahaan yang cukup disegani di dunia dan Indonesia
Ini tidak hanya dilakukan ketika menimba ilmu seorang diri di negeri orang, memulai kehidupan rumah tangga bersama belahan jiwanya, juga dalam karier, seperti yang saat ini dijalaninya saat ini.
Jika kita memulai dan membina segala sesuatu dari nol, akan membuat kita lebih kuat dan menghargai arti sebuah perjuangan, bahwa yang kita peroleh saat ini tidak diraih dengan mudah, kata Christina di Jakarta, baru-baru ini, dikutip dari Investor Daily.
Wanita cantik kelahiran Jakarta, 26 Desember 1973 ini menyakini bahwa hidup adalah karunia Tuhan dan harus disyukuri dan dijalani dengan sebaik mungkin, meskipun kadang terbilang nekat. Dia mengaku, kadang-kadang apa yang dialaminya di luar perkiraannya.
Christina memberi contoh saat mengutarakan niatnya untuk bersekolah di Australia. Mengingat dia adalah bungsu dari dua bersaudara, keinginannya tentu saja tidak begitu saja dipenuhi sang bunda, mengingat kakaknya yang notabene laki-laki pun menuntut ilmu di Tanah Air.
Terus terang keinginan saya untuk kuliah di Australia sangat kuat, karena saya ingin seperti bapak yang kuliah di sana. Akhirnya, saya meyakinkan bahwa saya bisa mandiri di sana walaupun seorang diri, kata alumni Australia Queensland University of Technology-International Business ini.
Tahun pertama dia tinggal bersama sebuah keluarga di Australia, selanjutnya, Christina hidup mandiri. Saya juga bekerja paruh waktu di sebuah restoran dan semua berjalan aman-aman saja. Lulus kuliah, kembali ke Indonesia dan bekerja, ujarnya bangga.
Lama tinggal di Indonesia, Christina tetap memilih pria Indonesia sebagai pasangan hidup. Kata orang, kuliah di luar negeri, bisa dapat suami bule. Tapi, jodoh saya ternyata orang Batak, katanya riang.
Christina mengaku petualangan hidupnya lebih berwarna setelah menikah. Dia pun turut sang suami yang bekerja di perusahaan migas untuk tinggal di Balikpapan. Ada satu pengalaman yang tak dilupakannya, yakni saat terjadi kemarau dan kesulitan air. Saya dan suami ambil air di satu tempat menggunakan mobil. Suami menyetir, saya di belakang pegang drum air supaya tidak tumpah, katanya.
Bidang pekerjaan sang suami itu juga yang mengharuskannya kerap berpindah tidak hanya dari satu kota ke kota lain, bahkan juga pindah antarnegara. Namun, dia mengaku tidak merasa kesulitan dalam beradaptasi. Banyak tempat membuat kita banyak pengalaman, ujarnya.
Saat sang suami ditugaskan di Belanda, Christina mengambil kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sarjana strata dua (S-2) di The Haque University, International Communications Management. Saat itu bukan hal yang mudah, karena di Belanda, dia membawa buah hatinya yang terbilang masih kecil. Namun, semua itu bisa dilaluinya. Kebetulan tetangga di Belanda juga baik. Mereka malah tertarik belajar banyak hal tentang Indonesia , kata ibu dua anak ini.
Karier dan Keluarga
Christina mengaku apa yang diraihnya saat ini tak lepas dari peran sang suami yang selalu memberi dukungan penuh. Bidang yang saya tekuni dengan suami jauh berbeda. Tapi, kami selalu saling mendukung satu sama lain. Selama saya bahagia dan bisa membagi waktu untuk keluarga, dia pasti dukung, katanya.
Dukungan yang sama juga diberikan sang suami saat Christina memutuskan untuk bekerja di perusahaan tembakau. Padahal, sebelumnya dia bekerja di sebuah perusahaan internasional bidang kosmetika dan kecantikan.
Bagi sebagian orang mungkin bekerja di perusahaan tembakau jadi pro dan kontra. Tapi, di mana pun kan memang selalu ada pro dan kontra. Buat saya ini pilihan hidup. Selama saya yakin apa yang saya jalani baik, kenapa tidak, terlebih JTI punya prinsip dasar dalam memahami kebutuhan perokok dan non-perokok, transparan, dan menghargai kearifan lokal dan budaya paparnya.
Meski JTI (Japan Tobacco International) terbilang perusahaan raksasa di tingkat dunia, untuk Indonesia perusahaan yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, ini terbilang baru. Saya bersama tim harus memulai dari nol, bagaimana membangun image yang baik di Indonesia dengan membawa nama besar yang sudah mendunia, paparnya.
Kesibukan yang padat bukan berarti membuat Christina kehilangan waktu untuk bersama sang suami dan anak-anaknya. Saya dan suami seminggu 3-4 kali jalan pagi keliling kompleks sebelum berangkat ke kantor. Selain tubuh jadi sehat, kami juga bisa berbicara banyak hal, katanya.
Saat libur pun dia habiskan waktu untuk kedua jagoan ciliknya yang mulai beranjak dewasa. Saya ingin karier berjalan baik, perusahaan bertumbuh. Di kehidupan keluarga, saya ingin melihat kedua anak lelaki saya tumbuh menjadi anak berbakti. Itu tugas dan tanggung jawab saya yang besar sebagai ibu, tutur Christina. (bn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar