Sekalipun
mendatangkan banyak perdebatan, gagasan perdagangan bebas dan
persaingan bebas terus bergulir sebagai akibat bangkitnya kegairahan
organisasi-organisasi bisnis dan perdagangan dunia. Faktanya, persaingan
telah berkembang mengarah pada praktik-praktik persaingan liar yang
menghalalkan segala cara (machiavelistik).
Islam sebagai sebuah aturan hidup yang khas, telah memberikan aturan-aturannya yang rinci untuk menghindarkan munculnya permasalahan akibat praktik persaingan yang tidak sehat. Minimal ada tiga unsur yang perlu dicermati dalam membahas persaingan bisnis menurut Islam yaitu: (1) pihak-pihak yang bersaing, (2) cara persaingan, dan (3) produk atau jasa yang dipersaingkan, yaitu:
1. Pihak-Pihak yang Bersaing
Manusia merupakan pusat pengendali persaingan bisnis. Ia akan menjalankan bisnisnya terkait dengan pandangannya, tentang bisnis yang digelutinya. Hal terpenting yang berkaitan dengan faktor manusia adalah segi motivasi dan landasan ketika ia menjalankan praktik bisnisnya, termasuk persaingan yang terjadi di dalamnya.
Bagi seorang muslim, bisnis yang dia lakukan adalah dalam rangka memperoleh dan mengembangkan kepemilikan harta. Harta yang dia peroleh tersebut adalah rezeki yang merupakan karunia yang telah ditetapkan Allah. Rezeki tidak akan lari ke mana-mana. Bila bukan rezekinya, sekuat apa pun orang mengusahakan, ia tidak akan mendapatkannya.
Begitu pun sebaliknya. Seorang manusia tidak akan menemui ajalnya kecuali ia telah dicukupkan atas rezekinya. Tugas kita adalah melakukan usaha untuk mendapatkan rezeki dengan cara yang sebaik-baiknya. Salah satunya dengan jalan berbisnis. kita tidak takut sedikit pun akan kekurangan rezeki atau kehilangan rezeki hanya karena anggapan rezeki itu “diambil” pesaing.
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan, hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. “ (al-Mulk: 15)
Keyakinan bahwa rezeki semata-mata datang dari Allah SWT akan menjadi kekuatan ruhiyah bagi seorang pebisnis muslim. Keyakinan ini menjadi landasan sikap tawakal yang kokoh dalam berbisnis. Selama berbisnis, seorang muslim senantiasa sandarkan segala sesuatunya kepada Allah. Manakala bisnisnya memenangkan persaingan, bersyukur.
Sebaliknya, ketika terpuruk dalam bersaing dan bersabar. Intinya, segala keadaan dihadapi dengan sikap positif tanpa meninggalkan hal-hal prinsip yang telah Allah perintahkan kepadanya. Insya Allah perasaan stress atau tertekan semestinya tidak menimpa pebisnis muslim.
Karenanya, seorang muslim akan memandang berbisnis sebagai pelaksanaan perintah Allah untuk bertebaran di muka bumi dalam mencari karuniahya. Karena itu, tidak terpikir olehnya untuk menghalalkan segala cara untuk sekadar “memenangkan” persaingan. Baginya, yang disebut persaingan adalah berebut menjadi terbaik. Terbaik di hadapan Allah yang dicapai dengan cara sesuatu rencana untuk tetap setia menaati setiap aturan-Nya dalam berbisnis, sedangkan terbaik di hadapan manusia dengan menjalankan bisnis dengan produk yang bermutu, harga bersaing, dan dengan pelayanan total.
“Dan, Kami jadikan malam im sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. “ (An-Naba’: 10-11)
Dalam hal kerja, Islam memerintahkan setiap muslim untuk memiliki etos kerja yang tinggi, sebagaimana telah memerintahkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan landasan ini, persaingan tidak lagi diartikan sebagai usaha mematikan pesaing lainnya, tetapi dilakukan untuk memberikan sesuatu yang terbaik dari usaha bisnisnya.
Sumber artikel: bisnisislami.wordpress.com dan redaksi
Sumber gambar: susieofarabia.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar